Wajah renta itu tak henti-hentinya tersenyum. Kerut di pipinya menimbulkan lekuk dalam saat bibir itu bergetar menggumamkan kata-kata tak jelas. Ya, hari ini Pak Dhe bahagia sekali, karena Bapak yaitu adik bungsu tersayangnya mengunjunginya bersama seluruh anak cucunya, yang berarti kemenakan dan cucu kemenakan beliau. Aku tersenyum haru melihat kakak beradik tua itu saling melepas rindu. Lima tahun tak bertemu rupanya membuahkan bahagia dan air mata di antara mereka. Perbedaan usia tujuh belas tahun membuat Bapak menganggap Pak Dhe sebagai pengganti Ayahnya, terlebih Kakek telah meninggal dunia ketika Bapak baru berumur lima tahun.
Pak Dhe tertatih-tatih menuntun Bapak yang terkena stroke sejak sepuluh tahun lalu. Dibanding Bapak, fisik Pak Dhe lebih sehat dan segar. Pak Dhe yang seorang mantan tentara pejuang itu rupanya lebih pandai menjaga kesehatan dibandingkan Bapak yang mantan pejabat eselon satu. Kami semua duduk di ruang tengah yang sejuk. Pak Dhe tinggal sendiri sejak dua tahun lalu setelah kematian Bu Dhe akibat gagal ginjal. Putra semata wayangnya tak kuasa membujuk Pak Dhe untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Semua kenangan, bahagia, sedih, sakit, sepi, dilalui Pak Dhe di rumah yang sederhana. Nyawanya telah bersatu dengan roh rumah tua yang sejuk ini.
"Bagaimana kabarmu, Le*?" tanya Pak Dhe pada Bapak sambil mengelus-elus tangan Bapak yang lumpuh.
"Ya seperti inilah, Mas. Wong sudah tua, cacat ya tinggal nunggu mati saja," jawab Bapak tercekat.
Semenjak terkena stroke Bapak memang menjadi pribadi yang sensitif, mudah marah dan sentimental. Kami anak-anaknya sudah sangat terbiasa dengan tabiat Bapak yang mudah putus asa. Maklumlah, tadinya beliau seorang pejabat yang aktif, tak pernah di rumah, olah raga ini dan itu, punya anak buah yang segan padanya. Kini hidupnya hanya dihabiskan berdua dengan Ibu, kami hanya bisa setahun sekali mengunjungi beliau saat Lebaran. Semua dirasa kelabu bagi Bapak.
"Sing sabar to , Le. Wong urip* itu kan ibadah, seneng ya disyukuri susah yo dilakoni*. Gusti Allah Maha Adil, kalau kamu susah di dunia di akherat nanti bakal senang. Asal kamu tawakal dan tetep sembahyang. Kamasmu iki opo yo ra susah, urip dhewe ditinggal Mbakyumu, ra iso nututi jaman. Sing penting sabar kabeh iso dilakoni. Sing gede atimu, Le*."
Bapak diam saja. Pak Dhe lalu mencoba mengusir rasa tidak enak dengan bernostalgia. Beliau bercerita mulai dari agresi Belanda kedua sampai dengan jaman PKI. Betapa beliau mengagumi Bung Karno, mulai dari kekurangannya hingga kelebihannya. Tampak jelas dari poster-poster Bung Karno berpidato di dinding ruang tengah ini. Anak lelakiku sangat antusias mendengar cerita perang dengan Belanda. Bapak yang masih berumur tujuh tahun harus dititipkan kesana-kemari sementara Pak Dhe berperang. Bahkan aku pun begitu takjubnya mendengar cerita saksi hidup sejarah ini.
"Dulu Eyang berperang dengan bambu runcing, ya?" tanya anak lelakiku. Pak Dhe terkekeh-kekeh.
"Tidak, dulu Eyang sudah pakai bedil. Tapi Eyang belum pernah menembak orang sampai mati. Tidak tega rasanya."
"Lho, kalau perang kan boleh nembak, Yang? Kalau enggak nanti malah Eyang yang ditembak," ujar anakku.
"Iya, buat Eyang perang itu hanya untuk mempertahankan apa yang kita yakini. Tentara-tentara Belanda itu mau berperang karena perintah atasannya. Mereka juga punya anak, punya istri, punya orang tua. Kalau sampai mereka mati tentu keluarganya akan kehilangan, mereka juga benci perang, tidak semua tentara senang melakukan agresi itu."
Bapak mulai mencair. Beliau mulai ikut ngobrol dan tertawa-tawa mengenang masa lalu. Masa-masa susah dulu yang kini ketika menjadi kenangan justru menimbulkan tawa. Kutatap wajah kedua orang tua itu. Pak Dhe yang renta itu begitu masih begitu kuat ingatannya akan kenangan-kenangan bersejarah. Pak Dhe yang kata orang sudah pikun namun ternyata masih menyimpan memori terpenting dalam hidupnya. Wajahnya yang sabar menyiratkan pedihnya sekaligus indahnya hidup. Sementara Bapak yang sempat menduduki jabatan empuk dan harus pensiun dini sebegitu putus asanya dalam menghadapi hidup. Bapak terlihat seperti anak kecil yang mengadu kepada ayahnya tentang tubuhnya yang sakit, yang tak berdaya harus bergantung pada orang lain. Sang Kakak dengan sabar menasehati dan memberi petuah-petuah dengan suara tak begitu jelas. Aku pun tak mengerti semua yang dikatakan Pak Dhe. Namun Bapak mengangguk-angguk sambil sesekali tergugu. Hanya mereka berdua yang mengerti. Seperti komunikasi cinta, hanya orang yang terlibat yang bisa menangkap.
Senja mulai menggantung. Dengan berat hati kami berpamitan karena esok harus segera menyeberang pulau, memboyong Bapak dan Ibu untuk tinggal bersamaku. Pak Dhe menangis. Bapak menangis. Entah kapan lagi mereka bisa bertemu. Kedua orang tua itu berpelukan lama. Aku mengusap air mata yang tergenang. Lalu kami semua berjalan ke mobil. Pak Dhe dengan penuh sayang membantu Bapak naik ke mobil, mengangkat kaki Bapak, meyakinkan Bapak sudah duduk dengan nyaman. Dan akhirnya melepas senyum untuk kami semua. Senyum di bibir tua yang membuat pipi keriputnya semakin dalam berlekuk. Selamat tinggal, Pak Dhe. Kami berterimakasih atas perjuanganmu dulu yang entah diingat atau tidak oleh negara ini, sekarang ini.
*****************
Setahun berlalu sejak kunjungan kami ke Yogyakarta. Sore ini ketika pulang kantor kudapati Bapak terpaku diam, dengan gagang telepon di genggaman tangannya. Kuambil perlahan lalu kucoba bicara namun rupanya hubungan telah terputus.
"Ada apa, Pak?" tanyaku perlahan. Bapak menatapku linglung.
"Pak Dhe mu, Ton, Pak Dhe sudah pergi," jawab Bapak lirih. Aku menggumamkan sebaris doa. Kupeluk Bapak yang menangis dalam diam. Wajahnya menyiratkan keperihan mendalam. Pergi sudah satu-satunya kakak sekaligus orang tua baginya. Kutawarkan Bapak untuk menghadiri pemakaman Pak Dhe tapi Bapak tidak mau. Bapak tidak tega menyaksikan pemakaman Pak Dhe, seorang pahlawan tak dikenal. Maka aku terbang sendirian ke Yogya. Aku harus hadir untuk mengantar Pak Dhe ke tempat peristirahatan terakhir.
Pukul sepuluh pagi Pak Dhe dimakamkan. Dan yang tak kusangka sama sekali pemakaman ini begitu megahnya. Puluhan prajurit muda menjemput jenasah Pak Dhe di rumahnya. Bendera merah putih menyelubungi peti jenasah dengan anggunnya. Oh, aku sungguh terharu. Kuhampiri putra semata wayang Pak Dhe. Kupeluk erat tubuhnya yang berguncang menahan tangis.
Setengah jam perjalanan menuju pemakaman. Sesampai di pemakaman prajurit-prajurit muda nan gagah itu memanggul peti jenasah Pak Dhe. Kuhampiri salah satu dari mereka lalu kugantikan. Aku ingin memberi penghormatan terakhir untuk Pak Dhe, pejuang yang ternyata dihargai dan dihormati oleh negara ini.
Tembakan bedil laras panjang itu mengantar Pak Dhe ke tempat peristirahatan terakhirnya. Masih terbayang senyum di wajah tua Pak Dhe. Seandainya Bapak melihat betapa megahnya pemakaman ini tentu akan bahagia. Pak Dhe masih dihargai sebagai seorang pejuang.
Selamat jalan Pak Dhe, senyummu akan selalu kami kenang.
1 komentar:
Selamat jalan Pak Dhe.
*mirip banget ceritanya dgn Pak Dhe-ku*
Posting Komentar