Senin, 02 Februari 2009

Kantong Uang

Jantungku berdegup kencang menatap amplop coklat atau mungkin lebih tepat disebut kantong itu. Logo sebuah bank BUMN ternama terpampang di sisi sebelah depan. Jelas ini kantong uang. Tidak terlalu tebal namun cukup mencolok mata untuk tidak kuperhatikan. Rasa penasaran di dada membuatku memungutnya dari bawah meja Pak Sofyan. Kutimbang-timbang, sebaiknya kuletakkan di meja Pak Sofyan atau kubawa pulang saja? Sejak siang tadi beliau pulang cepat karena akan menghabiskan akhir tahun di luar negeri. Sesore ini pasti beliau dan keluarganya sudah terbang meninggalkan Indonesia. Kalau kutinggalkan saja di meja pasti akan hilang. Satu minggu penuh beliau berlibur. Kalau kubawa pulang, resiko akan lebih besar, bisa saja dicopet atau … aku tergoda untuk mencurinya. Ah, tidak! Satu-satunya hal yang bisa kubanggakan dari diriku hanyalah kejujuran. Maka kuputuskan untuk membawa kantong uang itu pulang. Senin satu minggu yang akan datang akan kukembalikan.

Aku yakin uang ini adalah uang haram. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pak Sofyan yang mengepalai dan menguasai kantor pertanahan ini sangat memanfaatkan para investor untuk memperkaya diri. Kalau mau lancar mendirikan mall, rumah sakit, perkantoran, dan segala tetek bengek lainnya silakan memberikan upeti untuk Pak Sofyan. Bila harga sudah sesuai, maka “sim salabim” Surat Rekomendasi yang diperlukan akan keluar dalam hitungan hari! Ukur-mengukur, perijinan, meninjau sana-sini, dokumen ini-itu hanyalah formalitas belaka, bagian dari birokrasi. Tanda tangan beliau yang harganya ratusan juta bisa sekejap dalam genggaman. Namun bila mencoba jalur lurus, belum tentu satu tahun surat rekomendasi beliau akan keluar. Alhasil investor akan gigit jari, biaya operasional membengkak, proyek tak jalan, dan akan lebih sial jika sampai masa pergantian para penguasa kota, maka segalanya akan dimulai dari awal lagi. Jadi bukankah akan lebih baik melalui jalur singkat? Upeti mulai dari kepala desa hingga walikota, lalu semua dinas terkait, maka tak sampai setahun proyek akan berjalan mulus. Biaya “perijinan” yang ratusan bahkan milyar itu akan segera kembali. Investor senang, penguasa senang, paling-paling rakyat bawah macam diriku ini yang akan menanggung. Barang dan jasa yang serba mahal. Ah, sudahlah, semua sudah ada yang mengatur.


Tiba di rumah seperti biasa Anisa, istriku yang sedang hamil besar itu menyambutku. Diambilnya tas kerjaku dan sudah disiapkannya kaus oblong dan celana pendek pengganti seragam pegawai negriku ini.

“Sudah ke Bu Bidan tadi, Nisa?” tanyaku sambil berpakaian.
“Sudah,” jawabnya pendek. Ada yang tidak beres rupanya.
“Lalu, apa katanya? Kapan perkiraan lahir?”
“Dua minggu lagi, Raf. Kemungkinan operasi karena bayinya tak mau juga berputar.”

Aku melenguh macam sapi korban. Sungsang, itu vonis Bu Bidan. Masih ada harapan si bayi akan berputar ke posisi normal di akhir kehamilan. Tapi nampaknya tanda-tanda itu tak muncul juga.

“Bagaimana bila harus operasi nanti? Uang kita tak cukup bukan?” desah Anisa. Aku termangu.
Tabungan kami hanya cukup untuk melahirkan normal, itu pun melahirkan dengan bidan rumahan bukan dokter spesialis di rumah sakit. Tahulah gaji pegawai negeri honorer macam aku ini. Jangankan menabung, bisa menutup kebutuhan sehari-hari saja sudah syukur pada Tuhan.

“Nanti aku cari jalan, Nisa. Itu sepenuhnya tanggung jawabku. Mari kita berdoa saja agar anak kita lahir selamat begitu juga kau,” hiburku. Istriku agak terhibur. Dasar pembual aku ini, darimana lagi akan kudapatkan uang selain dari gajiku?
“Rafli, anak kita akan lahir pertengahan Januari nanti.”
“Iya, dua minggu lagi kan?”
“Itu berarti kita harus mengeluarkan biaya lagi, kontrak rumah ini akan habis akhir Januari.”
Ugh! Bagai ditonjok perutku. Mengapa aku melupakan hal itu? Tidak lupa sebetulnya, tapi memang sudah buntu darimana lagi harus mendapatkan uang. Biaya operasi istriku bisa berjuta-juta, lalu kontrak rumah petak ini juga tak sedikit. Mendadak kepalaku terserang pusing yang sangat. Kutinggalkan istriku ke kamar tanpa berkata apa-apa. Sekarang aku yang butuh penghiburan.

Rupanya penghiburan itu tak lama datangnya. Aku teringat kantong uang yang kutemukan tadi. Kupanggil istriku masuk kamar. Kukeluarkan kantong coklat itu dari dalam tas kerja. Kupandangi dan kutimbang-timbang. Degup jantungku kembali berdentam-dentam seakan hendak memecah rongga dadaku.
“Apa itu, Rafli?”
“Sepertinya uang.”
“Ooh…” desah istriku tertahan.
“Aku tak pasti jumlahnya. Tapi aku yakin ini uang.”
“Ayo, bukalah, Raf. Mungkin ini jawaban dari doa kita,” ujar Anisa antusias.

Sejenak aku bimbang. Tapi bayangan akan biaya operasi dan sewa rumah membuatku nekat. Kantong itu sama sekali tak dilem maupun distaples. Satu-satunya lubang menuju pengharapan itu hanya dilipat-lipat saja. Maka segera kuurai lipatannya lalu kutumpahkan isinya ke atas kasur.

Napasku tertahan. Istriku berteriak kecil. Ada lima bundel kertas berwarna kemerahan meluncur dari kantong coklat itu. Masing-masing bundel diikat dengan kertas putih berpelisir dan bertuliskan angka sepuluh juta. Tiga puluh tahun aku hidup di dunia ini belum pernah sekalipun kulihat angka sebesar itu. Dan ini ada lima bundel! Gemetar kuraih gelimang uang itu.
“Asli atau palsu, Raf?” bisik istriku. Sebersit ketakutan terdengar.
“Kelihatannya asli.”
“Darimana kamu dapat uang ini?”
“Tadi siang Pak Sofyan kedatangan tiga tamu penting, orang-orang kaya karena semua bermata sipit.”
“Lalu?”
“Aku melihat ada banyak tumpukan kantong seperti ini tapi lebih besar di meja beliau. Bahkan beliau sempat memarahiku karena aku masuk ke ruangannya. Tapi berkas yang harus ditandatanganinya itu harus segera kuantar ke kantor walikota. Maka aku menerobos saja ke ruangannya.”
“Lalu?”
“Ya aku tak tahu. Setelah beliau tanda tangan aku langsung pergi. Sorenya ketika aku akan menyerahkan kembali berkas-berkas dari Pak Walikota, kutemukan kantong ini tercecer di bawah meja kerjanya.”
“Raf, boleh tidak kita gunakan uang ini?” Polos sekali pertanyaan istriku. Tapi aku aku tak kuasa menjawabnya.
“Bagaimana, Raf? Ini menyelesaikan semua masalah kita, bahkan akan memperbaiki masa depan kita,” desak istriku. Oh, benarkah kata orang bahwa seorang laki-laki akan melakukan apa saja demi perempuan? Seorang suami korupsi karena istrinya menginginkan liburan ke luar negeri? Seorang anggota DPR menerima suap karena simpanannya menginginkan rumah mewah?
“Tidak, Anisa! Ini bukan uang kita. Bagaimana kalau ketahuan nanti?”
“Tidak akan ada yang tahu, Raf. Buktinya Pak Sofyan pun tidak sadar kehilangan uangnya?” Tentu saja beliau tak sadar, ada lebih banyak kantong yang berukuran lebih besar dalam tangannya.
“Aku akan mengembalikannya, Nisa.”
“Lalu mengapa kau bawa pulang? Mengapa kau tunjukkan padaku kalau tak boleh memakainya?” Istriku mulai merajuk.
“Aku tak tahu. Aku hanya ingin merasa kaya, melupakan semua masalah kita,” jawabku lemah.
“Ayolah, Raf, tak usah kita ambil semua. Cukup satu ikat saja. Maka aku bisa melahirkan di rumah sakit, sewa rumah setahun akan terbayar, lalu sisanya kita belanjakan kebutuhan bayi,” rayu Anisa. Oh, Istriku Sayang, maukah kau besarkan anak kita dengan uang haram ini? Kupunguti bundel-bundel uang itu. Kubelai sebentar lalu kupeluk di dada dan cepat-cepat kumasukkan kembali ke dalam kantong dan kusimpan dalam tas kerjaku.
“Rafli?”
“Mari kita tidur, malam sudah larut.”

Istriku merajuk. Dia tidur sambil memunggungiku. Sesekali kudengar isaknya tertahan. Bodohkah aku? Lima puluh juta dalam genggaman. Semua masalah lenyap. Bahkan mungkin bisa memiliki rumah sendiri. Tak usahlah rumah berhalaman. Cukup untuk bernaung aku, istriku, dan anakku sajalah. Lalu bila masih ada sisa Anisa bisa membuka warung kecil di rumah kami. Kelak bila warung sudah maju, aku bisa mencicil motor. Maka kami bertiga bisa berjalan-jalan jauh. Aku tersenyum. Sudah kuputuskan apa yang harus kulakukan. Yah, bukankah menghibur diri sendiri akan meringankan beban di dada? Cukupkah lima puluh juta untuk itu semua?


Akhirnya Senin itu tiba juga. Istriku mendukung keputusanku. Setelah kami merangkai mimpi dan menertawakan nasib, istriku berlapang dada.
“Maafkan aku, Rafli. Aku ingin anak kita menjadi anak baik dan terpuji. Kembalikan saja uang haram itu. Biar kita besarkan anak kita dengan jujur dan halal, maka kelak dia akan tumbuh jadi anak yang jujur pula.”
Kupeluk istriku. Selesai sudah kami menjadi orang kaya. Setelah kukembalikan uang ini maka kami kembali menjadi rakyat jelata.

Sampai di kantor segera kutemui Pak Sofyan. Seperti biasa beliau menikmati koran pagi dan kopinya. Karismanya terasa di setiap sudut ruangan, sayang beliau seorang koruptor.
“Ada apa, Raf?” tegurnya tanpa mengangkat wajah dari koran paginya.
“Saya mau mengembalikan ini, Pak.” Kuletakkan kantong coklat yang nyaris lusuh karena sering dibuka dan ditutup itu ke mejanya.

Dengan gerak lambat beliau menutup korannya lalu terbelalak melihat kantong itu.
“Darimana kau dapatkan ini?” desisnya. Aku merasa terintimidasi dengan wibawanya.
“Terjatuh di bawah meja Bapak. Saya memungutnya ketika meletakkan berkas dari Pak Walikota ke meja Bapak.”
“Apa isinya?”
“Eee, uang, Pak.” Tak mungkin aku pura-pura tidak tahu. Kantong coklat itu nyaris lusuh karena aku dan Anisa sering memainkannya. Bermain sebagai seorang kaya, membeli ini dan itu.
“Berapa?”
“Eee, lima puluh juta, Pak,” bisikku tak berdaya. Sudah terbayang surat mutasi ke pulau antah berantah menantiku.
“Kamu tahu uang apa ini, Raf?”
“Tidak tahu, Pak.” Sepertinya itu uang untuk memperlancar ijin membangun rumah sakit mewah.
“Ini uang sumbangan untuk merenovasi kantor kita, Raf. Untung kamu menemukannya. Tapi aku tak ingin bermasalah karena nyaris kehilangan dana ini. Jangan kamu sebarkan soal ini, Raf.”
Kalau Bapak memang kehilangan dana renovasi mengapa bersantai-santai membaca koran dan bukannya mengobak-abrik kantor ini untuk menemukannya?
“Baik, Pak.”
Kapan renovasi dimulai, Pak? Tahun depan belum tentu Bapak menjabat kembali. Pak Sofyan yang berkarisma itu mengeluarkan dompetnya lalu menarik dua lembar biru cantik dari dalamnya.
“Ini untuk kamu.”
Biru nan cantik itu melambai-lambai. Mengapa bukan merah indah dari balik kantong itu? Tak usahlah seikat cukup setengah bundel saja. Aku tersenyum.
“Maaf, Pak. Sudah kewajiban saya untuk mengembalikan dana renovasi itu, jadi tak perlu Bapak memberi saya imbalan. Toh kelak saya akan ikut menikmatinya. Mari Pak, selamat pagi.”

Kutinggalkan Si Karismatik yang mendadak panik dan tua. Sepulang kantor nanti aku akan mencari pinjaman uang untuk istriku. Mungkin kami harus pindah rumah, cukuplah kamar kos saja. Namun tak henti-hentinya kudaraskan doa agar istriku bisa melahirkan normal dan bayiku sehat tak kurang suatu apa.

Setitik, hanya setitik penyesalan timbul di pojok hatiku, mengapa kukembalikan uang itu? Bodohkah aku?

Bayangan bayi cantik menari-nari di kepalaku. Aku tidak bodoh! Ini semua demi anakku, demi masa depan bangsaku.


Penghujung 2008