Senin, 02 Februari 2009

Kantong Uang

Jantungku berdegup kencang menatap amplop coklat atau mungkin lebih tepat disebut kantong itu. Logo sebuah bank BUMN ternama terpampang di sisi sebelah depan. Jelas ini kantong uang. Tidak terlalu tebal namun cukup mencolok mata untuk tidak kuperhatikan. Rasa penasaran di dada membuatku memungutnya dari bawah meja Pak Sofyan. Kutimbang-timbang, sebaiknya kuletakkan di meja Pak Sofyan atau kubawa pulang saja? Sejak siang tadi beliau pulang cepat karena akan menghabiskan akhir tahun di luar negeri. Sesore ini pasti beliau dan keluarganya sudah terbang meninggalkan Indonesia. Kalau kutinggalkan saja di meja pasti akan hilang. Satu minggu penuh beliau berlibur. Kalau kubawa pulang, resiko akan lebih besar, bisa saja dicopet atau … aku tergoda untuk mencurinya. Ah, tidak! Satu-satunya hal yang bisa kubanggakan dari diriku hanyalah kejujuran. Maka kuputuskan untuk membawa kantong uang itu pulang. Senin satu minggu yang akan datang akan kukembalikan.

Aku yakin uang ini adalah uang haram. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Pak Sofyan yang mengepalai dan menguasai kantor pertanahan ini sangat memanfaatkan para investor untuk memperkaya diri. Kalau mau lancar mendirikan mall, rumah sakit, perkantoran, dan segala tetek bengek lainnya silakan memberikan upeti untuk Pak Sofyan. Bila harga sudah sesuai, maka “sim salabim” Surat Rekomendasi yang diperlukan akan keluar dalam hitungan hari! Ukur-mengukur, perijinan, meninjau sana-sini, dokumen ini-itu hanyalah formalitas belaka, bagian dari birokrasi. Tanda tangan beliau yang harganya ratusan juta bisa sekejap dalam genggaman. Namun bila mencoba jalur lurus, belum tentu satu tahun surat rekomendasi beliau akan keluar. Alhasil investor akan gigit jari, biaya operasional membengkak, proyek tak jalan, dan akan lebih sial jika sampai masa pergantian para penguasa kota, maka segalanya akan dimulai dari awal lagi. Jadi bukankah akan lebih baik melalui jalur singkat? Upeti mulai dari kepala desa hingga walikota, lalu semua dinas terkait, maka tak sampai setahun proyek akan berjalan mulus. Biaya “perijinan” yang ratusan bahkan milyar itu akan segera kembali. Investor senang, penguasa senang, paling-paling rakyat bawah macam diriku ini yang akan menanggung. Barang dan jasa yang serba mahal. Ah, sudahlah, semua sudah ada yang mengatur.


Tiba di rumah seperti biasa Anisa, istriku yang sedang hamil besar itu menyambutku. Diambilnya tas kerjaku dan sudah disiapkannya kaus oblong dan celana pendek pengganti seragam pegawai negriku ini.

“Sudah ke Bu Bidan tadi, Nisa?” tanyaku sambil berpakaian.
“Sudah,” jawabnya pendek. Ada yang tidak beres rupanya.
“Lalu, apa katanya? Kapan perkiraan lahir?”
“Dua minggu lagi, Raf. Kemungkinan operasi karena bayinya tak mau juga berputar.”

Aku melenguh macam sapi korban. Sungsang, itu vonis Bu Bidan. Masih ada harapan si bayi akan berputar ke posisi normal di akhir kehamilan. Tapi nampaknya tanda-tanda itu tak muncul juga.

“Bagaimana bila harus operasi nanti? Uang kita tak cukup bukan?” desah Anisa. Aku termangu.
Tabungan kami hanya cukup untuk melahirkan normal, itu pun melahirkan dengan bidan rumahan bukan dokter spesialis di rumah sakit. Tahulah gaji pegawai negeri honorer macam aku ini. Jangankan menabung, bisa menutup kebutuhan sehari-hari saja sudah syukur pada Tuhan.

“Nanti aku cari jalan, Nisa. Itu sepenuhnya tanggung jawabku. Mari kita berdoa saja agar anak kita lahir selamat begitu juga kau,” hiburku. Istriku agak terhibur. Dasar pembual aku ini, darimana lagi akan kudapatkan uang selain dari gajiku?
“Rafli, anak kita akan lahir pertengahan Januari nanti.”
“Iya, dua minggu lagi kan?”
“Itu berarti kita harus mengeluarkan biaya lagi, kontrak rumah ini akan habis akhir Januari.”
Ugh! Bagai ditonjok perutku. Mengapa aku melupakan hal itu? Tidak lupa sebetulnya, tapi memang sudah buntu darimana lagi harus mendapatkan uang. Biaya operasi istriku bisa berjuta-juta, lalu kontrak rumah petak ini juga tak sedikit. Mendadak kepalaku terserang pusing yang sangat. Kutinggalkan istriku ke kamar tanpa berkata apa-apa. Sekarang aku yang butuh penghiburan.

Rupanya penghiburan itu tak lama datangnya. Aku teringat kantong uang yang kutemukan tadi. Kupanggil istriku masuk kamar. Kukeluarkan kantong coklat itu dari dalam tas kerja. Kupandangi dan kutimbang-timbang. Degup jantungku kembali berdentam-dentam seakan hendak memecah rongga dadaku.
“Apa itu, Rafli?”
“Sepertinya uang.”
“Ooh…” desah istriku tertahan.
“Aku tak pasti jumlahnya. Tapi aku yakin ini uang.”
“Ayo, bukalah, Raf. Mungkin ini jawaban dari doa kita,” ujar Anisa antusias.

Sejenak aku bimbang. Tapi bayangan akan biaya operasi dan sewa rumah membuatku nekat. Kantong itu sama sekali tak dilem maupun distaples. Satu-satunya lubang menuju pengharapan itu hanya dilipat-lipat saja. Maka segera kuurai lipatannya lalu kutumpahkan isinya ke atas kasur.

Napasku tertahan. Istriku berteriak kecil. Ada lima bundel kertas berwarna kemerahan meluncur dari kantong coklat itu. Masing-masing bundel diikat dengan kertas putih berpelisir dan bertuliskan angka sepuluh juta. Tiga puluh tahun aku hidup di dunia ini belum pernah sekalipun kulihat angka sebesar itu. Dan ini ada lima bundel! Gemetar kuraih gelimang uang itu.
“Asli atau palsu, Raf?” bisik istriku. Sebersit ketakutan terdengar.
“Kelihatannya asli.”
“Darimana kamu dapat uang ini?”
“Tadi siang Pak Sofyan kedatangan tiga tamu penting, orang-orang kaya karena semua bermata sipit.”
“Lalu?”
“Aku melihat ada banyak tumpukan kantong seperti ini tapi lebih besar di meja beliau. Bahkan beliau sempat memarahiku karena aku masuk ke ruangannya. Tapi berkas yang harus ditandatanganinya itu harus segera kuantar ke kantor walikota. Maka aku menerobos saja ke ruangannya.”
“Lalu?”
“Ya aku tak tahu. Setelah beliau tanda tangan aku langsung pergi. Sorenya ketika aku akan menyerahkan kembali berkas-berkas dari Pak Walikota, kutemukan kantong ini tercecer di bawah meja kerjanya.”
“Raf, boleh tidak kita gunakan uang ini?” Polos sekali pertanyaan istriku. Tapi aku aku tak kuasa menjawabnya.
“Bagaimana, Raf? Ini menyelesaikan semua masalah kita, bahkan akan memperbaiki masa depan kita,” desak istriku. Oh, benarkah kata orang bahwa seorang laki-laki akan melakukan apa saja demi perempuan? Seorang suami korupsi karena istrinya menginginkan liburan ke luar negeri? Seorang anggota DPR menerima suap karena simpanannya menginginkan rumah mewah?
“Tidak, Anisa! Ini bukan uang kita. Bagaimana kalau ketahuan nanti?”
“Tidak akan ada yang tahu, Raf. Buktinya Pak Sofyan pun tidak sadar kehilangan uangnya?” Tentu saja beliau tak sadar, ada lebih banyak kantong yang berukuran lebih besar dalam tangannya.
“Aku akan mengembalikannya, Nisa.”
“Lalu mengapa kau bawa pulang? Mengapa kau tunjukkan padaku kalau tak boleh memakainya?” Istriku mulai merajuk.
“Aku tak tahu. Aku hanya ingin merasa kaya, melupakan semua masalah kita,” jawabku lemah.
“Ayolah, Raf, tak usah kita ambil semua. Cukup satu ikat saja. Maka aku bisa melahirkan di rumah sakit, sewa rumah setahun akan terbayar, lalu sisanya kita belanjakan kebutuhan bayi,” rayu Anisa. Oh, Istriku Sayang, maukah kau besarkan anak kita dengan uang haram ini? Kupunguti bundel-bundel uang itu. Kubelai sebentar lalu kupeluk di dada dan cepat-cepat kumasukkan kembali ke dalam kantong dan kusimpan dalam tas kerjaku.
“Rafli?”
“Mari kita tidur, malam sudah larut.”

Istriku merajuk. Dia tidur sambil memunggungiku. Sesekali kudengar isaknya tertahan. Bodohkah aku? Lima puluh juta dalam genggaman. Semua masalah lenyap. Bahkan mungkin bisa memiliki rumah sendiri. Tak usahlah rumah berhalaman. Cukup untuk bernaung aku, istriku, dan anakku sajalah. Lalu bila masih ada sisa Anisa bisa membuka warung kecil di rumah kami. Kelak bila warung sudah maju, aku bisa mencicil motor. Maka kami bertiga bisa berjalan-jalan jauh. Aku tersenyum. Sudah kuputuskan apa yang harus kulakukan. Yah, bukankah menghibur diri sendiri akan meringankan beban di dada? Cukupkah lima puluh juta untuk itu semua?


Akhirnya Senin itu tiba juga. Istriku mendukung keputusanku. Setelah kami merangkai mimpi dan menertawakan nasib, istriku berlapang dada.
“Maafkan aku, Rafli. Aku ingin anak kita menjadi anak baik dan terpuji. Kembalikan saja uang haram itu. Biar kita besarkan anak kita dengan jujur dan halal, maka kelak dia akan tumbuh jadi anak yang jujur pula.”
Kupeluk istriku. Selesai sudah kami menjadi orang kaya. Setelah kukembalikan uang ini maka kami kembali menjadi rakyat jelata.

Sampai di kantor segera kutemui Pak Sofyan. Seperti biasa beliau menikmati koran pagi dan kopinya. Karismanya terasa di setiap sudut ruangan, sayang beliau seorang koruptor.
“Ada apa, Raf?” tegurnya tanpa mengangkat wajah dari koran paginya.
“Saya mau mengembalikan ini, Pak.” Kuletakkan kantong coklat yang nyaris lusuh karena sering dibuka dan ditutup itu ke mejanya.

Dengan gerak lambat beliau menutup korannya lalu terbelalak melihat kantong itu.
“Darimana kau dapatkan ini?” desisnya. Aku merasa terintimidasi dengan wibawanya.
“Terjatuh di bawah meja Bapak. Saya memungutnya ketika meletakkan berkas dari Pak Walikota ke meja Bapak.”
“Apa isinya?”
“Eee, uang, Pak.” Tak mungkin aku pura-pura tidak tahu. Kantong coklat itu nyaris lusuh karena aku dan Anisa sering memainkannya. Bermain sebagai seorang kaya, membeli ini dan itu.
“Berapa?”
“Eee, lima puluh juta, Pak,” bisikku tak berdaya. Sudah terbayang surat mutasi ke pulau antah berantah menantiku.
“Kamu tahu uang apa ini, Raf?”
“Tidak tahu, Pak.” Sepertinya itu uang untuk memperlancar ijin membangun rumah sakit mewah.
“Ini uang sumbangan untuk merenovasi kantor kita, Raf. Untung kamu menemukannya. Tapi aku tak ingin bermasalah karena nyaris kehilangan dana ini. Jangan kamu sebarkan soal ini, Raf.”
Kalau Bapak memang kehilangan dana renovasi mengapa bersantai-santai membaca koran dan bukannya mengobak-abrik kantor ini untuk menemukannya?
“Baik, Pak.”
Kapan renovasi dimulai, Pak? Tahun depan belum tentu Bapak menjabat kembali. Pak Sofyan yang berkarisma itu mengeluarkan dompetnya lalu menarik dua lembar biru cantik dari dalamnya.
“Ini untuk kamu.”
Biru nan cantik itu melambai-lambai. Mengapa bukan merah indah dari balik kantong itu? Tak usahlah seikat cukup setengah bundel saja. Aku tersenyum.
“Maaf, Pak. Sudah kewajiban saya untuk mengembalikan dana renovasi itu, jadi tak perlu Bapak memberi saya imbalan. Toh kelak saya akan ikut menikmatinya. Mari Pak, selamat pagi.”

Kutinggalkan Si Karismatik yang mendadak panik dan tua. Sepulang kantor nanti aku akan mencari pinjaman uang untuk istriku. Mungkin kami harus pindah rumah, cukuplah kamar kos saja. Namun tak henti-hentinya kudaraskan doa agar istriku bisa melahirkan normal dan bayiku sehat tak kurang suatu apa.

Setitik, hanya setitik penyesalan timbul di pojok hatiku, mengapa kukembalikan uang itu? Bodohkah aku?

Bayangan bayi cantik menari-nari di kepalaku. Aku tidak bodoh! Ini semua demi anakku, demi masa depan bangsaku.


Penghujung 2008

Rabu, 03 Desember 2008

Penghormatan Terakhir

Wajah renta itu tak henti-hentinya tersenyum. Kerut di pipinya menimbulkan lekuk dalam saat bibir itu bergetar menggumamkan kata-kata tak jelas. Ya, hari ini Pak Dhe bahagia sekali, karena Bapak yaitu adik bungsu tersayangnya mengunjunginya bersama seluruh anak cucunya, yang berarti kemenakan dan cucu kemenakan beliau. Aku tersenyum haru melihat kakak beradik tua itu saling melepas rindu. Lima tahun tak bertemu rupanya membuahkan bahagia dan air mata di antara mereka. Perbedaan usia tujuh belas tahun membuat Bapak menganggap Pak Dhe sebagai pengganti Ayahnya, terlebih Kakek telah meninggal dunia ketika Bapak baru berumur lima tahun.

Pak Dhe tertatih-tatih menuntun Bapak yang terkena stroke sejak sepuluh tahun lalu. Dibanding Bapak, fisik Pak Dhe lebih sehat dan segar. Pak Dhe yang seorang mantan tentara pejuang itu rupanya lebih pandai menjaga kesehatan dibandingkan Bapak yang mantan pejabat eselon satu. Kami semua duduk di ruang tengah yang sejuk. Pak Dhe tinggal sendiri sejak dua tahun lalu setelah kematian Bu Dhe akibat gagal ginjal. Putra semata wayangnya tak kuasa membujuk Pak Dhe untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Semua kenangan, bahagia, sedih, sakit, sepi, dilalui Pak Dhe di rumah yang sederhana. Nyawanya telah bersatu dengan roh rumah tua yang sejuk ini.

"Bagaimana kabarmu, Le*?" tanya Pak Dhe pada Bapak sambil mengelus-elus tangan Bapak yang lumpuh.

"Ya seperti inilah, Mas. Wong sudah tua, cacat ya tinggal nunggu mati saja," jawab Bapak tercekat.

Semenjak terkena stroke Bapak memang menjadi pribadi yang sensitif, mudah marah dan sentimental. Kami anak-anaknya sudah sangat terbiasa dengan tabiat Bapak yang mudah putus asa. Maklumlah, tadinya beliau seorang pejabat yang aktif, tak pernah di rumah, olah raga ini dan itu, punya anak buah yang segan padanya. Kini hidupnya hanya dihabiskan berdua dengan Ibu, kami hanya bisa setahun sekali mengunjungi beliau saat Lebaran. Semua dirasa kelabu bagi Bapak.


"Sing sabar to , Le. Wong urip* itu kan ibadah, seneng ya disyukuri susah yo dilakoni*. Gusti Allah Maha Adil, kalau kamu susah di dunia di akherat nanti bakal senang. Asal kamu tawakal dan tetep sembahyang. Kamasmu iki opo yo ra susah, urip dhewe ditinggal Mbakyumu, ra iso nututi jaman. Sing penting sabar kabeh iso dilakoni. Sing gede atimu, Le*."
Bapak diam saja. Pak Dhe lalu mencoba mengusir rasa tidak enak dengan bernostalgia. Beliau bercerita mulai dari agresi Belanda kedua sampai dengan jaman PKI. Betapa beliau mengagumi Bung Karno, mulai dari kekurangannya hingga kelebihannya. Tampak jelas dari poster-poster Bung Karno berpidato di dinding ruang tengah ini. Anak lelakiku sangat antusias mendengar cerita perang dengan Belanda. Bapak yang masih berumur tujuh tahun harus dititipkan kesana-kemari sementara Pak Dhe berperang. Bahkan aku pun begitu takjubnya mendengar cerita saksi hidup sejarah ini.
"Dulu Eyang berperang dengan bambu runcing, ya?" tanya anak lelakiku. Pak Dhe terkekeh-kekeh.
"Tidak, dulu Eyang sudah pakai bedil. Tapi Eyang belum pernah menembak orang sampai mati. Tidak tega rasanya."
"Lho, kalau perang kan boleh nembak, Yang? Kalau enggak nanti malah Eyang yang ditembak," ujar anakku.
"Iya, buat Eyang perang itu hanya untuk mempertahankan apa yang kita yakini. Tentara-tentara Belanda itu mau berperang karena perintah atasannya. Mereka juga punya anak, punya istri, punya orang tua. Kalau sampai mereka mati tentu keluarganya akan kehilangan, mereka juga benci perang, tidak semua tentara senang melakukan agresi itu."
Bapak mulai mencair. Beliau mulai ikut ngobrol dan tertawa-tawa mengenang masa lalu. Masa-masa susah dulu yang kini ketika menjadi kenangan justru menimbulkan tawa. Kutatap wajah kedua orang tua itu. Pak Dhe yang renta itu begitu masih begitu kuat ingatannya akan kenangan-kenangan bersejarah. Pak Dhe yang kata orang sudah pikun namun ternyata masih menyimpan memori terpenting dalam hidupnya. Wajahnya yang sabar menyiratkan pedihnya sekaligus indahnya hidup. Sementara Bapak yang sempat menduduki jabatan empuk dan harus pensiun dini sebegitu putus asanya dalam menghadapi hidup. Bapak terlihat seperti anak kecil yang mengadu kepada ayahnya tentang tubuhnya yang sakit, yang tak berdaya harus bergantung pada orang lain. Sang Kakak dengan sabar menasehati dan memberi petuah-petuah dengan suara tak begitu jelas. Aku pun tak mengerti semua yang dikatakan Pak Dhe. Namun Bapak mengangguk-angguk sambil sesekali tergugu. Hanya mereka berdua yang mengerti. Seperti komunikasi cinta, hanya orang yang terlibat yang bisa menangkap.
Senja mulai menggantung. Dengan berat hati kami berpamitan karena esok harus segera menyeberang pulau, memboyong Bapak dan Ibu untuk tinggal bersamaku. Pak Dhe menangis. Bapak menangis. Entah kapan lagi mereka bisa bertemu. Kedua orang tua itu berpelukan lama. Aku mengusap air mata yang tergenang. Lalu kami semua berjalan ke mobil. Pak Dhe dengan penuh sayang membantu Bapak naik ke mobil, mengangkat kaki Bapak, meyakinkan Bapak sudah duduk dengan nyaman. Dan akhirnya melepas senyum untuk kami semua. Senyum di bibir tua yang membuat pipi keriputnya semakin dalam berlekuk. Selamat tinggal, Pak Dhe. Kami berterimakasih atas perjuanganmu dulu yang entah diingat atau tidak oleh negara ini, sekarang ini.
*****************
Setahun berlalu sejak kunjungan kami ke Yogyakarta. Sore ini ketika pulang kantor kudapati Bapak terpaku diam, dengan gagang telepon di genggaman tangannya. Kuambil perlahan lalu kucoba bicara namun rupanya hubungan telah terputus.
"Ada apa, Pak?" tanyaku perlahan. Bapak menatapku linglung.
"Pak Dhe mu, Ton, Pak Dhe sudah pergi," jawab Bapak lirih. Aku menggumamkan sebaris doa. Kupeluk Bapak yang menangis dalam diam. Wajahnya menyiratkan keperihan mendalam. Pergi sudah satu-satunya kakak sekaligus orang tua baginya. Kutawarkan Bapak untuk menghadiri pemakaman Pak Dhe tapi Bapak tidak mau. Bapak tidak tega menyaksikan pemakaman Pak Dhe, seorang pahlawan tak dikenal. Maka aku terbang sendirian ke Yogya. Aku harus hadir untuk mengantar Pak Dhe ke tempat peristirahatan terakhir.
Pukul sepuluh pagi Pak Dhe dimakamkan. Dan yang tak kusangka sama sekali pemakaman ini begitu megahnya. Puluhan prajurit muda menjemput jenasah Pak Dhe di rumahnya. Bendera merah putih menyelubungi peti jenasah dengan anggunnya. Oh, aku sungguh terharu. Kuhampiri putra semata wayang Pak Dhe. Kupeluk erat tubuhnya yang berguncang menahan tangis.
Setengah jam perjalanan menuju pemakaman. Sesampai di pemakaman prajurit-prajurit muda nan gagah itu memanggul peti jenasah Pak Dhe. Kuhampiri salah satu dari mereka lalu kugantikan. Aku ingin memberi penghormatan terakhir untuk Pak Dhe, pejuang yang ternyata dihargai dan dihormati oleh negara ini.
Tembakan bedil laras panjang itu mengantar Pak Dhe ke tempat peristirahatan terakhirnya. Masih terbayang senyum di wajah tua Pak Dhe. Seandainya Bapak melihat betapa megahnya pemakaman ini tentu akan bahagia. Pak Dhe masih dihargai sebagai seorang pejuang.
Selamat jalan Pak Dhe, senyummu akan selalu kami kenang.

Minggu, 30 November 2008

Ketika Bunga Layu

Rani memainkan gelas soft drink di hadapannya. Cairan berwarna merah itu bergolak mengikuti arah putaran tangan yang mulai menua itu. Sekali-sekali ia melirik jam mungil di tangan kirinya. Sepuluh menit lagi. Gelisah sekali rasanya. Sesaat ingin ia membatalkan pertemuan ini dan kembali ke kehidupannya, mencoba membayangkan tak pernah terjadi apa-apa. Kembali kepada anak-anak yang mencintainya tanpa syarat, tak peduli ia sudah mulai menua atau mulai tak indah lagi. Tapi ia ingin menuntaskan semuanya. Setelah itu entah apa yang akan dilakukannya. Dia telah kehilangan arah dan tujuan.
Tak lama kemudian orang yang ditunggunya tiba. Oh, mendadak Rani merasa kehilangan percaya diri. Sudah rapikah tatanan rambutku? Terlalu menorkah dandananku? Kunokah pilihan gaunku ini? Berjuta tanya bersemayam di benaknya.Tapi dia menyilakan juga tamunya duduk di hadapannya. Pelayan menghampiri mereka. Menu yang luar biasa itu tak sedikitpun mampu menggugah seleranya. Tapi ia memesan juga agar tamunya merasa nyaman.
Canggung. Kaku. Tak tahu harus mulai dari mana. Perempuan di hadapannya ini terlihat segar. Cantik? Yah, cukup cantik. Tidak, kalau mau jujur perempuan ini cantik sekali. Muda, sexy, penuh gairah. Usianya di pertengahan dua puluhan. Usia yang ranum dan penuh gejolak. Mendadak hati Rani teriris-iris. Perih sekali.
"Maaf, terlambatkah saya?" tanya perempuan di hadapannya membuyarkan lamunannya.
"Oh, tidak. Tepat waktu sekali. Terimakasih sudah mau datang," jawab Rani. Perempuan bernama Nuniek itu memberikan senyum manisnya. Oh, gila rupanya aku ini, pikir Rani, mengapa pula aku mesti beramah-tamah dengan kekasih suamiku?
"Ibu sendirian saja?" tanya Nuniek mencoba mencairkan kebekuan yang rupanya justru semakin menyakitkan bagi Rani. Tentu saja sendiri, batinnya, kau pikir aku mau mengajak suamiku untuk menemuimu?
"Oh, iya. Kebetulan anak-anak sedang sibuk, mereka punya kegiatan sendiri."
Pelayan menyajikan hidangan pesanan mereka. Rani menyilakan tamunya untuk menikmati. Sementara dirinya hanya mengacak-acak salad di hadapannya. Nuniek nampak sangat menikmati hidangannya. Yah, Rani memang sengaja mengundangnya makan malam di hotel berbintang. Untuk apa? Entahlah, Rani juga tak tahu. Sebenarnya segalanya akan lebih mudah diselesaikan melalui telpon. Tapi Rani ingin melihat seperti apa wajah dan penampilan kekasih suaminya ini. Dan ternyata dia sangat menyesal karenanya. Apa yang diharapkan akan ditemuinya? Berkali-kali Rani membayangkan perempuan yang telah berada di hadapannya ini. Jelek, gendut, oh tidak, mungkin cantik tapi giginya berkawat, sehingga tampak seram jika tersenyum. Atau mungkin perempuan setengah tua seperti dirinya, dengan payudara yang melorot sampai ke perutnya? Atau perempuan dengan rambut tipis menuju kebotakan? Bodoh! Sungguh bodoh jika dia membayangkan kekasih suaminya lebih jelek dari dirinya. Mana mungkin lelaki mau dengan perempuan kurang dari istrinya? Bodoh! Kini di hadapannya duduk seorang perempuan cantik, dada kencang membusung dan lekuk tubuh yang sempurna, serta kulit bening yang memikat.
Nuniek mengelap mulutnya. Senyum manis tersungging di bibirnya.
"Terimakasih. Ibu baik sekali pada saya," ujarnya perlahan. Rani membalas senyumnya dengan kaku.
"Tentu Dik Nuniek tahu mengapa saya undang kemari?"
"Panggil saja saya Nuniek, Bu. Saya hanya bisa menebak-nebak mengapa Ibu mengundang saya," jawab Nuniek menggantung. Rani menghela napas panjang.
"Saya hanya ingin tahu sudah sejauh apa hubungan Nuniek dengan suami saya?" Perempuan muda itu salah tingkah.
"Ee, kami hanya berteman saja, Bu. Saya sudah punya tunangan kok."
"Sudahlah, tidak perlu tidak enak hati. Toh saya sudah mengetahuinya. Tidak mungkin seorang teman mengirim SMS mesra seperti itu."
"Eh... anu...sebetulnya saya tidak bermaksud seperti itu."
"Tahukan kau, Nuniek? Seorang istri akan mengetahui jika suaminya berselingkuh. Sudah lama aku merasakan perubahan pada suamiku. Tiba-tiba sering pulang terlambat, dan entah dengan alasan apa ponselnya selalu dalam posisi silent dan setiap lima menit dia lihat," ujar Rani panjang lebar. Nuniek menunduk memainkan serbet di pangkuannya.
"Bahkan, di hari Minggu pun ketika kami sedang berdua di kamar kau mengirim SMS bukan? Oh ya, aku tahu suamiku terlebih dulu mengirim SMS padamu paginya, lalu kau membalasnya, tapi terlambat. Saat kutanya dari siapa suamiku gelisah lalu berbohong, mulailah dia meneleponmu seolah bicara dengan temannya. Tidakkah kau curiga waktu itu? Atau kau malah menertawakannya?" Nuniek diam. Rani berdebar. Jadi memang benar.
"Sudah berapa kali kalian pergi berdua? Atau berkencan?"
"Baru dua kali, Bu. Nonton film dan makan siang. Selebihnya kami lebih sering makan siang di kantin," jawab Nuniek lirih.
Rani menghela napas panjang. Kepedihan semakin menusuk hatinya. Kemarin ketika suaminya mengaku padanya hatinya perih sekali, sekarang luka perih itu seperti ditetesi cuka. Tak tertahankan. Sekarang dia harus menanyakan sesuatu yang bahkan tak sampai hati ia tanyakan terlebih mendengar jawabannya. Lidahnya kelu.
"Nuniek, maafkan saya tapi saya harus menanyakan hal ini," kata Rani. Bodoh, untuk apa meminta maaf dulu? Istri-istri yang lain akan langsung melabrak selingkuhan suaminya, bukan bersopan-sopan apalagi menjamu di hotel berbintang. Tidak, aku harus beda, pikirnya dulu, semakin halus kita memperlakukan saingan kita tentu semakin tak enak hatilah si perempuan itu.
"Tidak apa, Ibu boleh bertanya apa saja pada saya." Tak ada lagi yang perlu disembunyikan, batin Nuniek, wanita anggun ini telah mengetahuinya. Detik ini juga dia akan pergi meninggalkan Pak Deni.
"Apakah...mmm...eee...apa kalian sudah berhubungan fisik?" Keluar juga pertanyaan itu dari mulut Rani. Perempuan di hadapannya berusaha menyembunyikan kekagetannya.
"Oh, tidak Ibu, sama sekali tidak. Kami tidak sejauh itu, kami hanya saling bercerita, mengobrol, dan curhat masalah kami saja."
"Benarkah, Nuniek? Terus terang saya jijik sekali kalau kalian sudah berhubungan fisik."
"Tidak. Kami tidak melakukan apapun. Saya berkata apa adanya, Ibu harus percaya pada saya." Entah apa jadinya kalau Ibu tidak segera mengetahuinya, bisik Nuniek dalam hati. Cepat atau lambat mereka pasti akan melakukannya, mereka telah berjanji menghabiskan akhir minggu di Puncak Sabtu depan, namun wanita ayu itu telah menyelamatkannya.
"Baiklah aku percaya. Tapi tolong, jauhi dia. Saya tau bukan sepenuhnya kesalahanmu, laki-laki di manapun sama saja. Tapi setidaknya kalau si perempuan menolak tentu tidak akan terjadi perselingkuhan."
"Maafkan saya, Bu."
"Mungkin kita telah jatuh cinta pada orang yang sama. Tapi saya, anak-anak saya masih membutuhkannya. Kalau kau mau membantu saya, biarkan dia pergi. Jalan hidupmu masih panjang terbentang, jangan sampai salah arah." Perempuan di depannya perlahan terisak. Rani menatapnya. Kejamkah aku, bisik hatinya, tidak, dia dan suamiku yang kejam. Menghianati cinta dan kesetiaan yang telah terbina puluhan tahun.
"Maafkan saya. Saya akan meninggalkan Bapak. Saya juga tidak ingin melukai hati Ibu dan tunangan saya."
"Terimakasih. Saya doakan kau bahagia dengan tunanganmu. Mungkin, di kemudian hari, pertemuan kita ini akan menjadi pengalaman untukmu, sebagai seorang istri."
Rani meninggalkan Nuniek. Legakah? Tidak. Yang ada hanya hampa. Dia tidak memenangkan pertarungan ini. Tetap saja kalah, tetap saja perempuan itu telah memenangkan suaminya. Dia percaya Nuniek akan meninggalkan suaminya. Betapa Deni akan kehilangan dirinya. Betapa sepi dan menjemukan hari-harinya di kantor kelak.
Petugas vallet parking telah menyerahkan mobilnya. Rani memberi tip yang cukup besar lalu mulai melaju menuju jalan raya. Malam belumlah terlalu pekat. Entah sedang apa kedua buah hatinya, yang pasti mereka berdua mengharap dirinya segera pulang. Gadisnya akan memeluk dan menciumnya, pangerannya tentu dengan senang hati akan memijit kakinya seperti biasa dilakukan sepulang Rani dari kantor. Dan Deni? Entahlah. Mungkin akan membuang muka pura-pura sibuk atau menanti cerita pertemuannya dengan Nuniek?
Pandangan Rani kabur. Basah oleh air mata yang sejak tadi ditahannya. Hidupnya sudah berubah. Kepercayaan itu sudah hilang berganti rasa curiga yang sangat menyiksa. Dia telah kalah. Dia sadar dia bukanlah istri sempurna. Seringkali dia abaikan suaminya, pekerjaan yang menyita waktu membuatnya membiarkan suaminya melakukan sendiri segalanya. Air mata semakin deras mengalir. Rani tidak ingin pulang. Dia tak tahan harus menghadapi Deni. Apa yang akan dikatakannya? Nuniek akan meninggalkannya. Bagaimana perasaanmu, Suamiku? Batin Rani. Sepikah? Menyesalkah? Kecewakah? Sejak pengakuan itu Deni berjanji akan menyelesaikannya dengan Nuniek. Tidak. Deni tidak akan pernah sampai hati melakukannya. Ini pembicaraan antar perempuan. Hanya perempuan yang bisa mengetuk hati perempuan lain.
Pandangannya semakin kabur. Semua akan berubah. Tak akan sama lagi seperti dulu. Deni dan Nuniek mungkin jujur, mereka baru saja memulai sebuah hubungan. Tapi Rani sudah terlanjur merasa dikhianati. Sungguh dia tak ingin pulang. Sekali ini dalam hidupnya dia merasa sakit. Orang yang paling dicintainya telah menghancurkannya. Dia tak ingin pulang. Tapi bagaimana kedua buah hatiku? Bisik hatinya. Ah, mereka sudah dewasa. Gadisnya sebentar lagi wisuda dan pangerannya sudah dua bulan ini berpraktek di sebuah rumah sakit megah. Mereka sudah tak memerlukannya lagi. Deni mungkin akan lebih senang, tak perlu menyakiti Nuniek yang cantik.
Rani melirik speedometer, 130 km/jam. Ditekannya pedal gas lebih dalam. Aku tak ingin pulang, bisiknya. Jalanan kini sudah tak terlihat sama sekali. Air mata bercampur keringat dingin telah membutakannya. Rani tak peduli. Ditekannya pedal gas hingga habis. Malam tiba-tiba berubah menjadi terang menyilaukan. Kali ini matanya benar-benar seperti buta, tak terlihat apapun hanya cahaya luar biasa terang tampak di hadapannya. Bunyi klakson panjang bagaikan panggilan kematian. Rani sudah pasrah.
Tiba-tiba dia melihat gadisnya berjalan di hadapannya. Gaun pengantin berekor panjang itu membalut tubuhnya yang sempurna. Cantik, cantik sekali. Pangerannya berpakakaian jas hitam mendampingi adiknya yang seperti ratu. Dan di ujung sana dia melihat dirinya dan suaminya bergandengan. Saling memandang dengan penuh cinta dan haru, melepas anak gadisnya menjadi milik orang lain. Rani tersadar. Anak-anaknya masih membutuhkannya. Suaminya masih mencintainya.
"Aku ingin pulang," teriaknya," Aku rindu mereka." Diinjaknya pedal rem kuat-kuat. Bunyi mendecit dan percikan api di aspal menimbulkan bunyi mengerikan.
Terlambat. Truk besar itu telah menyambutnya terlebih dulu. Perlahan pesta perkawinan di hadapannya berubah menjadi tangis. Gaun pengantin gadisnya menghitam dan semakin hitam. Pangerannya terisak tanpa henti. Dan suaminya membeku tanpa tangis namun pedih di raut wajahnya telah menyiratkan segalanya.
"Mama pulang, Nak, jangan menangis. Suamiku, aku pulang." Teriaknya tanpa suara. Semua gelap. Hitam. Kelam.

Senin, 24 November 2008

Pelangi di Ujung Hujan

Hujan masih saja mengguyur bumi dengan derasnya. Malam yang membutakan ini terasa makin suram dan dingin. Tak dapat juga kupejamkan mata ini, meski selimut menutup rapat seluruh tubuhku yang kedinginan dan segelas susu hangat telah kuhabiskan. Ah, siksaan yang paling tak tertahankan adalah tak bisa tidur. Terutama bila pikiran mengembara liar tak tentu arah. Tak apa jika pengembaraan ini menghasilkan sesuatu yang produktif. Namun kenyataannya hanya kesedihan dan keputusasaan yang menari-nari di kepalaku. Tanpa sadar kubelai bantal di sisiku. Brrr, dingin. Tak kusangka, baru seminggu ditinggal pemiliknya namun bantal itu begitu membekunya. Ah, hanya perasaanku saja. Toh setiap pagi bantal itu kutepuk-tepuk, kubolak-balik, bahkan kupeluk untuk menambah hangat tubuhku. Kamu terbawa emosi, Ray, bisik hati kecilku. Entahlah.

Masih tergambar jelas di kepalaku di hari Minggu pagi yang berawan seminggu yang lalu. Maya, istriku yang cantik itu tiba-tiba berdiri di hadapanku sambil menjinjing travelling bag nya. Kuturunkan cangkir yang sudah menempel di bibirku tanpa menghirup isinya.

"Aku pergi, Ray," kata istriku lirih.

"Pergi? Pergi ke mana?" sahutku bingung. Kucoba meraih lengannya. Namun dia menghindar dengan halus.

"Pulang."

"Pulang? Kok mendadak begini? Ada apa, Maya?" aku masih bingung tak mengerti. Perlahan Maya melangkah menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang dengan linglung.

"Kau tak perlu tau mengapa aku pergi."

Aku masih tak mengerti. Kuraih bahunya dan kubalikkan tubuhnya. Ah, sedikit agak kasar waktu itu. Kutatap bening bola matanya. Tampak lapisan kaca yang perlahan luruh menjadi butiran embun bening lalu mengalir di pipinya yang putih. Aku bingung.

"Ada apa, Maya? Apa salahku? Mengapa kau tiba-tiba ingin pulang? Katakan, May," desakku waktu itu. Masih kuingat lengan putih Maya memerah karena genggaman tanganku. Masih terbayang kuatnya tanganku mengguncang lengannya demi sebuah jawaban. Namun bibir pucat itu tak memberi jawaban apapun. Aku mulai kesal.

"Ok, kalau kau mau pergi. Tapi biarkan aku mengantarmu, apa kata orang tuamu nanti kalau kau pulang sendiri tanpa kuantar?" seruku kesal. Mata indah istriku itu menunduk.

"Tidak usah, Ray. Biarkan sekali ini aku sendiri saja."

Tanpa menunggu persetujuanku Maya melangkah keluar dengan bergegas. Dinyalakannya mobil mungilnya lalu meluncur meninggalkan rumah kecil kami. Aku tak mampu berkata apa-apa. Masih seperti orang linglung aku membiarkannya pergi. Meninggalkan rumah ini dan segala isinya. Dan terutama meninggalkan aku yang sekarang membeku kedinginan.
Kini, kembali aku mengembara ke waktu setahun yang lalu. Betapa cantiknya istriku waktu itu mengenakan kebaya pengantinnya. Bangganya hatiku melihat puluhan pasang mata menatap kagum istriku dan melirik iri padaku. Maya memang cantik. Hanya enam bulan kami berkenalan lalu aku melamarnya. Sungguh tak disangka ketika dia menerima lamaranku. Padahal begitu banyak pemuda yang jatuh hati padanya. Mulai dari anak pejabat, anak konglomerat, sampai anak pegawai rendahan seperti aku ini. Sempat aku ragu dengan jawabannya. Namun dia mantap, sekalipun kukatakan aku tak bisa memberinya kemewahan atau gemerlapnya dunia. Walaupun aku lulus kuliah dengan predikat cum laude dan sebuah perusahaan besar telah menerimaku bekerja, tapi aku belumlah mapan. Masih ada tiga orang adik yang harus kusekolahkan. Maya yang anak tunggal, bunga kampus, tetap saja bergeming memilihku. Ah, terima kasih Tuhan, telah Kau kirimkan bidadari cantik ini untukku.
Rupanya belum puas Tuhan memanjakanku, karena sekalipun anak orang kaya dan anak tunggal, Maya bukanlah perempuan manja dan malas. Justru sebaliknya dia rajin, pandai memasak sekalipun keahliannya adalah masak makanan yang bahkan menyebutkan namanya saja aku sering lupa, dan yang terutama adalah rendah hati dan pandai membawa diri. Setiap pagi dia menyiapkan jaketku, ranselku, dan mengantarku hingga ke pagar sampai aku dan motor kebanggaanku membelok di tikungan. Setelah itu baru Maya berangkat dengan mobil mungilnya ke kantor. Ah, aku rindu, Maya. Aku rindu senyumanmu, aku rindu celotehmu, aku rindu dekapanmu, aku rindu semua tentangmu, Maya. Mengapa tak kau biarkan aku menjemputmu? Mengapa kau enggan menerima teleponku? Mengapa tak kau ijinkan aku menjengukmu? Akhirnya aku tertidur dengan sejuta "mengapa" di benakku.....
*******

Minggu kedua sejak kepergian Maya. Hidupku semakin tak karuan. Rasanya beratku telah menyusut dan penampilanku semakin berantakan. Masih juga belum kutemukan jawaban mengapa Maya meninggalkanku. Belum juga orang tuanya mengijinkan aku menjemputnya atau bahkan menjenguknya.

"Maya baik-baik saja," kata Ayah mertuaku, "tidak apa-apa dia hanya ingin menyendiri saat ini. Kau yang sabar, Ray, nanti juga tiba waktunya dia akan pulang."

Dan pagi ini aku sudah memutuskan tidak ke kantor. Sudah kukirimkan SMS untuk atasanku. Sakit. Yah, itu alasan paling tepat saat ini. Walaupun bukan sakit fisik yang kurasakan melainkan sakit hati yang tak jelas. Gerimis masih saja membasahi halaman kecilku. Setelah menghabiskan mie instan yang kini menjadi menu harianku, aku bermaksud mencuci motorku yang penuh balutan lumpur. Biarlah gerimis ini juga membasahi tubuhku, toh sudah dua minggu pula hatiku terguyur gerimis. Rindu tak tertahankan membuatku jadi pria paling cengeng di dunia ini. Rindu yang bercampur kesal dan akhirnya berujung amarah. Mungkin aku memang bukan pria idaman Maya. Hidupku yang terbiasa sederhana walaupun gajiku cukup besar barangkali tak sejalan dengan Maya yang terbiasa dijamu kemewahan. Atau mungkin Maya yang kukagumi selama ini bukan Maya yang sesungguhnya? Entahlah.

Sambil bersiul-siul mengusir galau di hati aku mulai mengguyur motor kebanggaanku ini, yang bahkan belum lunas cicilannya. Tak terasa gerimis berubah menjadi hujan. Biarlah. Toh jalanan sepi, tak seorangpun melihatku berhujan-hujan begini. Semakin asyik kubersihkan motor yang ternyata lebih kotor dari yang kukira. Begitu tenggelamnya diriku dengan kesibukanku menyabun dan menggosok motorku hingga tak kusadari entah sudah berapa lama Maya berdiri di pagar dengan sekujur tubuhnya basah. Tak kudengar tadi bunyi deru mobil mungilnya. Yang sekarang kupandangi hanya sosok cantik yang begitu kurindu itu berdiri menontonku di batas pagar. Dan oh, tak ada lagi kesedihan di bening matanya. Bahkan senyumnya merekah di merah bibirnya.

Ingin aku berlari untuk merengkuh dan menciumnya. Tapi, tidak! Tidak! Seenaknya saja dia membuatku menderita begini. Pergi tanpa alasan jelas dan sekarang kembali dengan senyum tak berdosa. Tidak. Aku kembali mengambil lap dan membersihkan motorku. Kulihat dari sudut mataku senyum Maya menghilang. Perlahan dia mendekatiku. Aku tak peduli.

"Ray, maafkan aku," ujarnya lirih. Lembut tangannya mengusap pipiku. Darahku berdesir. Oh, betapa rinduku padanya. Tapi aku diam saja. Jemari Maya lembut menyusuri butir hujan yang mengalir di wajahku. Ingin kukecup jemari lentik itu. Tidak, tidak!

"Tidakkah kau mau tau mengapa aku pergi, Ray?" Aku masih diam. Maya jongkok di sebelahku. Sekarang kami berdua kuyup oleh hujan yang semakin deras.

"Aku juga tak tau mengapa aku pergi. Rasanya begitu tiba-tiba. AKu ingin menjauh darimu, aku ingin pulang ke pelukan Mama." Aku masih diam.

"Oh, jangan kau kira aku tidak rindu padamu, Ray. Rindu yang menyiksa, bahkan aku ingin mati karenanya. Tapi aku juga tak ingin berada di dekatmu. Aku bingung waktu itu, Ray," Maya mulai terisak. Kulihat air mata bercampur dengan hujan membasahi wajahnya. Hatiku galau. Jadi benar, dia tak bisa bersamaku. Pedih hatiku.

"Lalu, mengapa sekarang kau pulang?" tanyaku kaku. Aku tak ingin mendengar jawabannya. Sungguh. Sudah terbayang di benakku dia akan mengosongkan seluruh lemari pakaiannya dan seluruh barangnya hingga tak ada lagi jejaknya di rumah ini. Maya mendudukkan dirinya di sebelahku, di atas rumput basah.

"Karena rasa aneh itu sudah pergi. Sekarang aku hanya ingin selalu di dekatmu. Dan aku takkan pernah lagi meninggalkanmu."

"Ah, enak sekali kau ini. Tidakkah kau lihat Maya, betapa menderitanya aku ini? Kau pergi begitu saja lalu sekarang kembali dengan seenaknya dengan penjelasanmu yang sungguh tidak masuk akal. Rasa aneh? Rasa aneh apa?" Sedikit kutahan volume suaraku yang sungguh ingin rasanya aku berteriak-teriak pada makhluk cantik di sampingku ini.

"Maafkan aku, Ray. Kata Mama, mungkin aku berubah begini karena bawaan bayi," ujar Maya lirih.

"Ya, kau memang berubah! Kau tidak lagi seperti dulu, kau.... aaapa?? Bawaan bayi? Kau...?"

"Ray, aku hamil." Aku jatuh terduduk. Kupandangi wajah cantik yang entah mengapa sekarang begitu bersinar. Aku terpana.

"Kau... hamil? Kau...kita mau punya anak?" Tanyaku bingung. Maya mengangguk kuat-kuat. Kugenggam tangannya masih tak percaya.

"Aku sudah ke dokter dengan Mama. Sekarang sudah hampir dua bulan, Ray."

"Oooh Mayaaa, teganya kau begitu pada suamimu? Kenapa kau tak pergi bersamaku?"

"Aku gak tau. Aku hanya ingin dekat-dekat Mama saja." Ih, gemas sekali aku melihat senyum nakalnya. Tak tahan lagi kupeluk erat-erat istriku ini. Bahagia sekali aku ini.

Hujan mulai reda. Bias pelangi muncul di genangan air, menyuarakan warna hatiku saat ini. Kubimbing istriku ke dalam rumah. Kutumpahkan rinduku yang terpendam selama dua minggu padanya. Sebentar lagi rumah ini akan semakin berwarna dengan celoteh Maya kecil atau mungkin Reynaldi kecil? Indahnya.....