Minggu, 30 November 2008

Ketika Bunga Layu

Rani memainkan gelas soft drink di hadapannya. Cairan berwarna merah itu bergolak mengikuti arah putaran tangan yang mulai menua itu. Sekali-sekali ia melirik jam mungil di tangan kirinya. Sepuluh menit lagi. Gelisah sekali rasanya. Sesaat ingin ia membatalkan pertemuan ini dan kembali ke kehidupannya, mencoba membayangkan tak pernah terjadi apa-apa. Kembali kepada anak-anak yang mencintainya tanpa syarat, tak peduli ia sudah mulai menua atau mulai tak indah lagi. Tapi ia ingin menuntaskan semuanya. Setelah itu entah apa yang akan dilakukannya. Dia telah kehilangan arah dan tujuan.
Tak lama kemudian orang yang ditunggunya tiba. Oh, mendadak Rani merasa kehilangan percaya diri. Sudah rapikah tatanan rambutku? Terlalu menorkah dandananku? Kunokah pilihan gaunku ini? Berjuta tanya bersemayam di benaknya.Tapi dia menyilakan juga tamunya duduk di hadapannya. Pelayan menghampiri mereka. Menu yang luar biasa itu tak sedikitpun mampu menggugah seleranya. Tapi ia memesan juga agar tamunya merasa nyaman.
Canggung. Kaku. Tak tahu harus mulai dari mana. Perempuan di hadapannya ini terlihat segar. Cantik? Yah, cukup cantik. Tidak, kalau mau jujur perempuan ini cantik sekali. Muda, sexy, penuh gairah. Usianya di pertengahan dua puluhan. Usia yang ranum dan penuh gejolak. Mendadak hati Rani teriris-iris. Perih sekali.
"Maaf, terlambatkah saya?" tanya perempuan di hadapannya membuyarkan lamunannya.
"Oh, tidak. Tepat waktu sekali. Terimakasih sudah mau datang," jawab Rani. Perempuan bernama Nuniek itu memberikan senyum manisnya. Oh, gila rupanya aku ini, pikir Rani, mengapa pula aku mesti beramah-tamah dengan kekasih suamiku?
"Ibu sendirian saja?" tanya Nuniek mencoba mencairkan kebekuan yang rupanya justru semakin menyakitkan bagi Rani. Tentu saja sendiri, batinnya, kau pikir aku mau mengajak suamiku untuk menemuimu?
"Oh, iya. Kebetulan anak-anak sedang sibuk, mereka punya kegiatan sendiri."
Pelayan menyajikan hidangan pesanan mereka. Rani menyilakan tamunya untuk menikmati. Sementara dirinya hanya mengacak-acak salad di hadapannya. Nuniek nampak sangat menikmati hidangannya. Yah, Rani memang sengaja mengundangnya makan malam di hotel berbintang. Untuk apa? Entahlah, Rani juga tak tahu. Sebenarnya segalanya akan lebih mudah diselesaikan melalui telpon. Tapi Rani ingin melihat seperti apa wajah dan penampilan kekasih suaminya ini. Dan ternyata dia sangat menyesal karenanya. Apa yang diharapkan akan ditemuinya? Berkali-kali Rani membayangkan perempuan yang telah berada di hadapannya ini. Jelek, gendut, oh tidak, mungkin cantik tapi giginya berkawat, sehingga tampak seram jika tersenyum. Atau mungkin perempuan setengah tua seperti dirinya, dengan payudara yang melorot sampai ke perutnya? Atau perempuan dengan rambut tipis menuju kebotakan? Bodoh! Sungguh bodoh jika dia membayangkan kekasih suaminya lebih jelek dari dirinya. Mana mungkin lelaki mau dengan perempuan kurang dari istrinya? Bodoh! Kini di hadapannya duduk seorang perempuan cantik, dada kencang membusung dan lekuk tubuh yang sempurna, serta kulit bening yang memikat.
Nuniek mengelap mulutnya. Senyum manis tersungging di bibirnya.
"Terimakasih. Ibu baik sekali pada saya," ujarnya perlahan. Rani membalas senyumnya dengan kaku.
"Tentu Dik Nuniek tahu mengapa saya undang kemari?"
"Panggil saja saya Nuniek, Bu. Saya hanya bisa menebak-nebak mengapa Ibu mengundang saya," jawab Nuniek menggantung. Rani menghela napas panjang.
"Saya hanya ingin tahu sudah sejauh apa hubungan Nuniek dengan suami saya?" Perempuan muda itu salah tingkah.
"Ee, kami hanya berteman saja, Bu. Saya sudah punya tunangan kok."
"Sudahlah, tidak perlu tidak enak hati. Toh saya sudah mengetahuinya. Tidak mungkin seorang teman mengirim SMS mesra seperti itu."
"Eh... anu...sebetulnya saya tidak bermaksud seperti itu."
"Tahukan kau, Nuniek? Seorang istri akan mengetahui jika suaminya berselingkuh. Sudah lama aku merasakan perubahan pada suamiku. Tiba-tiba sering pulang terlambat, dan entah dengan alasan apa ponselnya selalu dalam posisi silent dan setiap lima menit dia lihat," ujar Rani panjang lebar. Nuniek menunduk memainkan serbet di pangkuannya.
"Bahkan, di hari Minggu pun ketika kami sedang berdua di kamar kau mengirim SMS bukan? Oh ya, aku tahu suamiku terlebih dulu mengirim SMS padamu paginya, lalu kau membalasnya, tapi terlambat. Saat kutanya dari siapa suamiku gelisah lalu berbohong, mulailah dia meneleponmu seolah bicara dengan temannya. Tidakkah kau curiga waktu itu? Atau kau malah menertawakannya?" Nuniek diam. Rani berdebar. Jadi memang benar.
"Sudah berapa kali kalian pergi berdua? Atau berkencan?"
"Baru dua kali, Bu. Nonton film dan makan siang. Selebihnya kami lebih sering makan siang di kantin," jawab Nuniek lirih.
Rani menghela napas panjang. Kepedihan semakin menusuk hatinya. Kemarin ketika suaminya mengaku padanya hatinya perih sekali, sekarang luka perih itu seperti ditetesi cuka. Tak tertahankan. Sekarang dia harus menanyakan sesuatu yang bahkan tak sampai hati ia tanyakan terlebih mendengar jawabannya. Lidahnya kelu.
"Nuniek, maafkan saya tapi saya harus menanyakan hal ini," kata Rani. Bodoh, untuk apa meminta maaf dulu? Istri-istri yang lain akan langsung melabrak selingkuhan suaminya, bukan bersopan-sopan apalagi menjamu di hotel berbintang. Tidak, aku harus beda, pikirnya dulu, semakin halus kita memperlakukan saingan kita tentu semakin tak enak hatilah si perempuan itu.
"Tidak apa, Ibu boleh bertanya apa saja pada saya." Tak ada lagi yang perlu disembunyikan, batin Nuniek, wanita anggun ini telah mengetahuinya. Detik ini juga dia akan pergi meninggalkan Pak Deni.
"Apakah...mmm...eee...apa kalian sudah berhubungan fisik?" Keluar juga pertanyaan itu dari mulut Rani. Perempuan di hadapannya berusaha menyembunyikan kekagetannya.
"Oh, tidak Ibu, sama sekali tidak. Kami tidak sejauh itu, kami hanya saling bercerita, mengobrol, dan curhat masalah kami saja."
"Benarkah, Nuniek? Terus terang saya jijik sekali kalau kalian sudah berhubungan fisik."
"Tidak. Kami tidak melakukan apapun. Saya berkata apa adanya, Ibu harus percaya pada saya." Entah apa jadinya kalau Ibu tidak segera mengetahuinya, bisik Nuniek dalam hati. Cepat atau lambat mereka pasti akan melakukannya, mereka telah berjanji menghabiskan akhir minggu di Puncak Sabtu depan, namun wanita ayu itu telah menyelamatkannya.
"Baiklah aku percaya. Tapi tolong, jauhi dia. Saya tau bukan sepenuhnya kesalahanmu, laki-laki di manapun sama saja. Tapi setidaknya kalau si perempuan menolak tentu tidak akan terjadi perselingkuhan."
"Maafkan saya, Bu."
"Mungkin kita telah jatuh cinta pada orang yang sama. Tapi saya, anak-anak saya masih membutuhkannya. Kalau kau mau membantu saya, biarkan dia pergi. Jalan hidupmu masih panjang terbentang, jangan sampai salah arah." Perempuan di depannya perlahan terisak. Rani menatapnya. Kejamkah aku, bisik hatinya, tidak, dia dan suamiku yang kejam. Menghianati cinta dan kesetiaan yang telah terbina puluhan tahun.
"Maafkan saya. Saya akan meninggalkan Bapak. Saya juga tidak ingin melukai hati Ibu dan tunangan saya."
"Terimakasih. Saya doakan kau bahagia dengan tunanganmu. Mungkin, di kemudian hari, pertemuan kita ini akan menjadi pengalaman untukmu, sebagai seorang istri."
Rani meninggalkan Nuniek. Legakah? Tidak. Yang ada hanya hampa. Dia tidak memenangkan pertarungan ini. Tetap saja kalah, tetap saja perempuan itu telah memenangkan suaminya. Dia percaya Nuniek akan meninggalkan suaminya. Betapa Deni akan kehilangan dirinya. Betapa sepi dan menjemukan hari-harinya di kantor kelak.
Petugas vallet parking telah menyerahkan mobilnya. Rani memberi tip yang cukup besar lalu mulai melaju menuju jalan raya. Malam belumlah terlalu pekat. Entah sedang apa kedua buah hatinya, yang pasti mereka berdua mengharap dirinya segera pulang. Gadisnya akan memeluk dan menciumnya, pangerannya tentu dengan senang hati akan memijit kakinya seperti biasa dilakukan sepulang Rani dari kantor. Dan Deni? Entahlah. Mungkin akan membuang muka pura-pura sibuk atau menanti cerita pertemuannya dengan Nuniek?
Pandangan Rani kabur. Basah oleh air mata yang sejak tadi ditahannya. Hidupnya sudah berubah. Kepercayaan itu sudah hilang berganti rasa curiga yang sangat menyiksa. Dia telah kalah. Dia sadar dia bukanlah istri sempurna. Seringkali dia abaikan suaminya, pekerjaan yang menyita waktu membuatnya membiarkan suaminya melakukan sendiri segalanya. Air mata semakin deras mengalir. Rani tidak ingin pulang. Dia tak tahan harus menghadapi Deni. Apa yang akan dikatakannya? Nuniek akan meninggalkannya. Bagaimana perasaanmu, Suamiku? Batin Rani. Sepikah? Menyesalkah? Kecewakah? Sejak pengakuan itu Deni berjanji akan menyelesaikannya dengan Nuniek. Tidak. Deni tidak akan pernah sampai hati melakukannya. Ini pembicaraan antar perempuan. Hanya perempuan yang bisa mengetuk hati perempuan lain.
Pandangannya semakin kabur. Semua akan berubah. Tak akan sama lagi seperti dulu. Deni dan Nuniek mungkin jujur, mereka baru saja memulai sebuah hubungan. Tapi Rani sudah terlanjur merasa dikhianati. Sungguh dia tak ingin pulang. Sekali ini dalam hidupnya dia merasa sakit. Orang yang paling dicintainya telah menghancurkannya. Dia tak ingin pulang. Tapi bagaimana kedua buah hatiku? Bisik hatinya. Ah, mereka sudah dewasa. Gadisnya sebentar lagi wisuda dan pangerannya sudah dua bulan ini berpraktek di sebuah rumah sakit megah. Mereka sudah tak memerlukannya lagi. Deni mungkin akan lebih senang, tak perlu menyakiti Nuniek yang cantik.
Rani melirik speedometer, 130 km/jam. Ditekannya pedal gas lebih dalam. Aku tak ingin pulang, bisiknya. Jalanan kini sudah tak terlihat sama sekali. Air mata bercampur keringat dingin telah membutakannya. Rani tak peduli. Ditekannya pedal gas hingga habis. Malam tiba-tiba berubah menjadi terang menyilaukan. Kali ini matanya benar-benar seperti buta, tak terlihat apapun hanya cahaya luar biasa terang tampak di hadapannya. Bunyi klakson panjang bagaikan panggilan kematian. Rani sudah pasrah.
Tiba-tiba dia melihat gadisnya berjalan di hadapannya. Gaun pengantin berekor panjang itu membalut tubuhnya yang sempurna. Cantik, cantik sekali. Pangerannya berpakakaian jas hitam mendampingi adiknya yang seperti ratu. Dan di ujung sana dia melihat dirinya dan suaminya bergandengan. Saling memandang dengan penuh cinta dan haru, melepas anak gadisnya menjadi milik orang lain. Rani tersadar. Anak-anaknya masih membutuhkannya. Suaminya masih mencintainya.
"Aku ingin pulang," teriaknya," Aku rindu mereka." Diinjaknya pedal rem kuat-kuat. Bunyi mendecit dan percikan api di aspal menimbulkan bunyi mengerikan.
Terlambat. Truk besar itu telah menyambutnya terlebih dulu. Perlahan pesta perkawinan di hadapannya berubah menjadi tangis. Gaun pengantin gadisnya menghitam dan semakin hitam. Pangerannya terisak tanpa henti. Dan suaminya membeku tanpa tangis namun pedih di raut wajahnya telah menyiratkan segalanya.
"Mama pulang, Nak, jangan menangis. Suamiku, aku pulang." Teriaknya tanpa suara. Semua gelap. Hitam. Kelam.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Halah, kok ndak hepi ending sih? Padahal masalah sdh diselesaikan dengan baik.

Hu-uh...

bittersweet mengatakan...

He...he... wong endingnya baru kepikiran saat cerita ngalir kok.

Lagian itu menggambarkan bermacam reaksi seorang istri ketika suaminya berselingkuh. Tanya aja ma Mbak Halimah :D