Senin, 24 November 2008

Pelangi di Ujung Hujan

Hujan masih saja mengguyur bumi dengan derasnya. Malam yang membutakan ini terasa makin suram dan dingin. Tak dapat juga kupejamkan mata ini, meski selimut menutup rapat seluruh tubuhku yang kedinginan dan segelas susu hangat telah kuhabiskan. Ah, siksaan yang paling tak tertahankan adalah tak bisa tidur. Terutama bila pikiran mengembara liar tak tentu arah. Tak apa jika pengembaraan ini menghasilkan sesuatu yang produktif. Namun kenyataannya hanya kesedihan dan keputusasaan yang menari-nari di kepalaku. Tanpa sadar kubelai bantal di sisiku. Brrr, dingin. Tak kusangka, baru seminggu ditinggal pemiliknya namun bantal itu begitu membekunya. Ah, hanya perasaanku saja. Toh setiap pagi bantal itu kutepuk-tepuk, kubolak-balik, bahkan kupeluk untuk menambah hangat tubuhku. Kamu terbawa emosi, Ray, bisik hati kecilku. Entahlah.

Masih tergambar jelas di kepalaku di hari Minggu pagi yang berawan seminggu yang lalu. Maya, istriku yang cantik itu tiba-tiba berdiri di hadapanku sambil menjinjing travelling bag nya. Kuturunkan cangkir yang sudah menempel di bibirku tanpa menghirup isinya.

"Aku pergi, Ray," kata istriku lirih.

"Pergi? Pergi ke mana?" sahutku bingung. Kucoba meraih lengannya. Namun dia menghindar dengan halus.

"Pulang."

"Pulang? Kok mendadak begini? Ada apa, Maya?" aku masih bingung tak mengerti. Perlahan Maya melangkah menuju pintu. Aku mengikutinya dari belakang dengan linglung.

"Kau tak perlu tau mengapa aku pergi."

Aku masih tak mengerti. Kuraih bahunya dan kubalikkan tubuhnya. Ah, sedikit agak kasar waktu itu. Kutatap bening bola matanya. Tampak lapisan kaca yang perlahan luruh menjadi butiran embun bening lalu mengalir di pipinya yang putih. Aku bingung.

"Ada apa, Maya? Apa salahku? Mengapa kau tiba-tiba ingin pulang? Katakan, May," desakku waktu itu. Masih kuingat lengan putih Maya memerah karena genggaman tanganku. Masih terbayang kuatnya tanganku mengguncang lengannya demi sebuah jawaban. Namun bibir pucat itu tak memberi jawaban apapun. Aku mulai kesal.

"Ok, kalau kau mau pergi. Tapi biarkan aku mengantarmu, apa kata orang tuamu nanti kalau kau pulang sendiri tanpa kuantar?" seruku kesal. Mata indah istriku itu menunduk.

"Tidak usah, Ray. Biarkan sekali ini aku sendiri saja."

Tanpa menunggu persetujuanku Maya melangkah keluar dengan bergegas. Dinyalakannya mobil mungilnya lalu meluncur meninggalkan rumah kecil kami. Aku tak mampu berkata apa-apa. Masih seperti orang linglung aku membiarkannya pergi. Meninggalkan rumah ini dan segala isinya. Dan terutama meninggalkan aku yang sekarang membeku kedinginan.
Kini, kembali aku mengembara ke waktu setahun yang lalu. Betapa cantiknya istriku waktu itu mengenakan kebaya pengantinnya. Bangganya hatiku melihat puluhan pasang mata menatap kagum istriku dan melirik iri padaku. Maya memang cantik. Hanya enam bulan kami berkenalan lalu aku melamarnya. Sungguh tak disangka ketika dia menerima lamaranku. Padahal begitu banyak pemuda yang jatuh hati padanya. Mulai dari anak pejabat, anak konglomerat, sampai anak pegawai rendahan seperti aku ini. Sempat aku ragu dengan jawabannya. Namun dia mantap, sekalipun kukatakan aku tak bisa memberinya kemewahan atau gemerlapnya dunia. Walaupun aku lulus kuliah dengan predikat cum laude dan sebuah perusahaan besar telah menerimaku bekerja, tapi aku belumlah mapan. Masih ada tiga orang adik yang harus kusekolahkan. Maya yang anak tunggal, bunga kampus, tetap saja bergeming memilihku. Ah, terima kasih Tuhan, telah Kau kirimkan bidadari cantik ini untukku.
Rupanya belum puas Tuhan memanjakanku, karena sekalipun anak orang kaya dan anak tunggal, Maya bukanlah perempuan manja dan malas. Justru sebaliknya dia rajin, pandai memasak sekalipun keahliannya adalah masak makanan yang bahkan menyebutkan namanya saja aku sering lupa, dan yang terutama adalah rendah hati dan pandai membawa diri. Setiap pagi dia menyiapkan jaketku, ranselku, dan mengantarku hingga ke pagar sampai aku dan motor kebanggaanku membelok di tikungan. Setelah itu baru Maya berangkat dengan mobil mungilnya ke kantor. Ah, aku rindu, Maya. Aku rindu senyumanmu, aku rindu celotehmu, aku rindu dekapanmu, aku rindu semua tentangmu, Maya. Mengapa tak kau biarkan aku menjemputmu? Mengapa kau enggan menerima teleponku? Mengapa tak kau ijinkan aku menjengukmu? Akhirnya aku tertidur dengan sejuta "mengapa" di benakku.....
*******

Minggu kedua sejak kepergian Maya. Hidupku semakin tak karuan. Rasanya beratku telah menyusut dan penampilanku semakin berantakan. Masih juga belum kutemukan jawaban mengapa Maya meninggalkanku. Belum juga orang tuanya mengijinkan aku menjemputnya atau bahkan menjenguknya.

"Maya baik-baik saja," kata Ayah mertuaku, "tidak apa-apa dia hanya ingin menyendiri saat ini. Kau yang sabar, Ray, nanti juga tiba waktunya dia akan pulang."

Dan pagi ini aku sudah memutuskan tidak ke kantor. Sudah kukirimkan SMS untuk atasanku. Sakit. Yah, itu alasan paling tepat saat ini. Walaupun bukan sakit fisik yang kurasakan melainkan sakit hati yang tak jelas. Gerimis masih saja membasahi halaman kecilku. Setelah menghabiskan mie instan yang kini menjadi menu harianku, aku bermaksud mencuci motorku yang penuh balutan lumpur. Biarlah gerimis ini juga membasahi tubuhku, toh sudah dua minggu pula hatiku terguyur gerimis. Rindu tak tertahankan membuatku jadi pria paling cengeng di dunia ini. Rindu yang bercampur kesal dan akhirnya berujung amarah. Mungkin aku memang bukan pria idaman Maya. Hidupku yang terbiasa sederhana walaupun gajiku cukup besar barangkali tak sejalan dengan Maya yang terbiasa dijamu kemewahan. Atau mungkin Maya yang kukagumi selama ini bukan Maya yang sesungguhnya? Entahlah.

Sambil bersiul-siul mengusir galau di hati aku mulai mengguyur motor kebanggaanku ini, yang bahkan belum lunas cicilannya. Tak terasa gerimis berubah menjadi hujan. Biarlah. Toh jalanan sepi, tak seorangpun melihatku berhujan-hujan begini. Semakin asyik kubersihkan motor yang ternyata lebih kotor dari yang kukira. Begitu tenggelamnya diriku dengan kesibukanku menyabun dan menggosok motorku hingga tak kusadari entah sudah berapa lama Maya berdiri di pagar dengan sekujur tubuhnya basah. Tak kudengar tadi bunyi deru mobil mungilnya. Yang sekarang kupandangi hanya sosok cantik yang begitu kurindu itu berdiri menontonku di batas pagar. Dan oh, tak ada lagi kesedihan di bening matanya. Bahkan senyumnya merekah di merah bibirnya.

Ingin aku berlari untuk merengkuh dan menciumnya. Tapi, tidak! Tidak! Seenaknya saja dia membuatku menderita begini. Pergi tanpa alasan jelas dan sekarang kembali dengan senyum tak berdosa. Tidak. Aku kembali mengambil lap dan membersihkan motorku. Kulihat dari sudut mataku senyum Maya menghilang. Perlahan dia mendekatiku. Aku tak peduli.

"Ray, maafkan aku," ujarnya lirih. Lembut tangannya mengusap pipiku. Darahku berdesir. Oh, betapa rinduku padanya. Tapi aku diam saja. Jemari Maya lembut menyusuri butir hujan yang mengalir di wajahku. Ingin kukecup jemari lentik itu. Tidak, tidak!

"Tidakkah kau mau tau mengapa aku pergi, Ray?" Aku masih diam. Maya jongkok di sebelahku. Sekarang kami berdua kuyup oleh hujan yang semakin deras.

"Aku juga tak tau mengapa aku pergi. Rasanya begitu tiba-tiba. AKu ingin menjauh darimu, aku ingin pulang ke pelukan Mama." Aku masih diam.

"Oh, jangan kau kira aku tidak rindu padamu, Ray. Rindu yang menyiksa, bahkan aku ingin mati karenanya. Tapi aku juga tak ingin berada di dekatmu. Aku bingung waktu itu, Ray," Maya mulai terisak. Kulihat air mata bercampur dengan hujan membasahi wajahnya. Hatiku galau. Jadi benar, dia tak bisa bersamaku. Pedih hatiku.

"Lalu, mengapa sekarang kau pulang?" tanyaku kaku. Aku tak ingin mendengar jawabannya. Sungguh. Sudah terbayang di benakku dia akan mengosongkan seluruh lemari pakaiannya dan seluruh barangnya hingga tak ada lagi jejaknya di rumah ini. Maya mendudukkan dirinya di sebelahku, di atas rumput basah.

"Karena rasa aneh itu sudah pergi. Sekarang aku hanya ingin selalu di dekatmu. Dan aku takkan pernah lagi meninggalkanmu."

"Ah, enak sekali kau ini. Tidakkah kau lihat Maya, betapa menderitanya aku ini? Kau pergi begitu saja lalu sekarang kembali dengan seenaknya dengan penjelasanmu yang sungguh tidak masuk akal. Rasa aneh? Rasa aneh apa?" Sedikit kutahan volume suaraku yang sungguh ingin rasanya aku berteriak-teriak pada makhluk cantik di sampingku ini.

"Maafkan aku, Ray. Kata Mama, mungkin aku berubah begini karena bawaan bayi," ujar Maya lirih.

"Ya, kau memang berubah! Kau tidak lagi seperti dulu, kau.... aaapa?? Bawaan bayi? Kau...?"

"Ray, aku hamil." Aku jatuh terduduk. Kupandangi wajah cantik yang entah mengapa sekarang begitu bersinar. Aku terpana.

"Kau... hamil? Kau...kita mau punya anak?" Tanyaku bingung. Maya mengangguk kuat-kuat. Kugenggam tangannya masih tak percaya.

"Aku sudah ke dokter dengan Mama. Sekarang sudah hampir dua bulan, Ray."

"Oooh Mayaaa, teganya kau begitu pada suamimu? Kenapa kau tak pergi bersamaku?"

"Aku gak tau. Aku hanya ingin dekat-dekat Mama saja." Ih, gemas sekali aku melihat senyum nakalnya. Tak tahan lagi kupeluk erat-erat istriku ini. Bahagia sekali aku ini.

Hujan mulai reda. Bias pelangi muncul di genangan air, menyuarakan warna hatiku saat ini. Kubimbing istriku ke dalam rumah. Kutumpahkan rinduku yang terpendam selama dua minggu padanya. Sebentar lagi rumah ini akan semakin berwarna dengan celoteh Maya kecil atau mungkin Reynaldi kecil? Indahnya.....

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Ceritanya keren banget.
Harus dikirim ke media cetak.
Hati-hati dibajak.

GBU